Tuesday, 29 December 2015

Potret Kota Tua dan Museum Seni Rupa dan Keramik

Lapangan Fatahillah, Kota Tua
Lukisan dalam Museum Seni Rupa dan Keramik


Hall Museum Seni Rupa dan Keramik

Bagian Dalam Museum Seni Rupa dan Keramik

Meja untuk Membuat Keramik dalam Museum Seni Rupa dan Keramik

Foto-foto di atas merupakan beberapa potret yang berhasil saya ambil ketika saya pergi ke Kota Tua. saya hanya mendapat sedikit foto karena saya hanya berhasil mengunjungi Museum Seni Rupa dan Keramik. Hal itu disebabkan keterlambatan saya sampai di sana.

Saya mengambil foto dengan efek black and white. 

Setelah perjalanan saya ke sana, saya sadar masih banyak masyarakat yang belum bisa menghargai sejarah bangsa. Mereka seenaknya buang sampah, lesehan di sani-sini, membuat suasana terasa berantakan dan sumpek.

Saya harap, kesadaran masyarakat akan sejarah dan lingkungan dapat meningkat. Jangan hanya bisanya protes soal buruknya fasilitaslah, kinerja pemerintahlah.

Kenapa tidak kita sama-sama lestarikan peninggalan sejarah bangsa?

Kota Tuaku

(Lapangan Fatahillah, Kota Tua)
Kota Tua yang kotor, sesak, dan panas. Hari itu, kami bertemu dan bercakap-cakap.

"Aku penasaran. Berapa hari yang telah kau lalui?"

"Banyak nak. Tak dapatkah kau melihat tubuhku yang kini renta? Tak sekokoh dulu."

"Berarti, kau sudah bertemu banyak manusia bukan? Tentunya kau punya banyak teman. Mereka bisa membantumu jadi kokoh lagi!"

"Banyak nak. Sayangnya yang mau menjadi temanku sedikit sekali."

"Mengapa? Mungkin kau terlalu sedikit bicara, sehingga mereka bosan."

"Aku selalu ingin bicara. Aku juga ingin punya banyak teman dimasa senjaku. Tapi aku tak mampu. Mungkin kau benar, aku membosankan. Hanya ini yang aku punya. Gedung-gedung tua kotor. Kisahku juga itu-itu saja, apa lagi kalau bukan sejarah. Aku memang payah."

"Hei tunggu, tunggu. Aku tak bermaksud. Kau tidak payah. Maafkan aku mengatakan bahwa kau membosankan. Ini kali pertama kita berbicara dan aku sudah sok tahu menilai tentangmu.
Dengar, aku kini tengah berbicara denganmu, dan aku tidak bosan.
Kau memang tua, kami juga akan jadi tua. Lalu kenapa?
Kau kotor Karena kami. Seenaknya buang-buang sampah. Seenaknya bertingkah, membuatmu sesak. Kami yang payah."

"Terima kasih telah menghiburku."

"Tidak aku yang berterimakasih. Kau selalu ramah meski kadang ramahmu tak terbalas.
Dengarkan aku, aku mau menjadi temanmu
Kota Tua,
Jadilah temanku, teman anakku, teman cucuku.
Jadilah kota yang tua, yang tak lekang dimakan waktu.
Jadilah pendongeng hebat sebagai saksi sejarah.
Kota Tuaku, kau harus tetap hidup."

"Bahkan meski kau tidak memintanya, aku akan tetap hidup nak"
Dan ia tersenyum. Kota Tuaku, yang selalu tersenyum.



Sunday, 27 December 2015

Salam Kenal

Hai, namaku Alivia Renata.

Kulirik sekilas bulan yang terlihat samar karena terhalang awan. Mungkin sekarang sudah pukul sepuluh malam, atau lebih? Entahlah.

Aku harus cepat-cepat pulang. Yah meskipun sepertinya aku pulang atau tidak, takkan ada bedanya buat mama. Ia memang tidak peduli, tidak pernah peduli, haha.

Ah sudahlah. Aku tidak mau membahas hal itu.

Aku melangkahkan kaki sedikit lebih cepat. Aku tidak peduli kepada orang-orang yang berjalan di sekitarku. Toh, mereka bahkan tidak melirik ke arahku.

Dinginnya malam dapat terlihat ketika daun-daun pohon sekitarku terus bergerak makin cepat ditiup angin. Tapi aku tidak merasa dingin.

Tak sengaja mataku menangkap dua sosok muda-mudi yang tengah asik berciuman di gang sempit di sebelah kananku. Menjijikan.

"Dasar tak tahu malu!", bisikku dalam hati.

Aku jadi kesal dibuatnya. Atau, mungkin aku iri? Sial! Untuk apa aku iri? Iri kepada wanita murahan tadi yang dengan mudahnya disentuh tangan laki-laki hidung belang yang tak tahu malu? Benar-benar menjijikan.

Kulangkahkan kakiku lebih cepat sambil mencoba melupakan hal yang barusan terjadi. Tiba-tiba otakku memerintahkan kakiku untuk berhenti melangkah.

"Alvian?", tanyaku dalam hati.

Mataku menyipit, memastikan sosok itu benar Alvian.

"ALVIAN!", teriakku. Tapi Alvian bahkan tidak menengok ke arahku. Ia malah masuk ke dalam mobilnya lalu melesat pergi.

Aku mencoba berlari sambil terus berteriak memanggil namanya, tapi aku masih kalah cepat. Tunggu, aku berhenti berlari. Mana mungkin ia mendengarku? Aku ini siapa? Bodohnya aku. Haha.

Cukup. Aku harus segera pulang.

Tak terasa rumahku sudah ada di depan mata. Langkahku kian melambat. Kubuka pintu pagar yang tidak digembok dengan perlahan, lalu memasuki rumah. Tak terkunci. Kulihat mama sedang duduk tak bergerak dengan tatapan kosong.

Aku melengos tak peduli. Aku berjalan menuju kamar. Pintu kamar kubuka. Aku terdiam sesaat sebelum masuk ke dalam. Aku menarik nafas sesaat lalu melangkah masuk.

Pemandangan mengerikan terpampang jelas di depan mataku. Tubuh seorang remaja putri menggantung di tengah kamar. Bau apek dan busuk mulai memenuhi kamar. Tapi aku tidak kaget.

Ya, dia itu aku. Aku berbalik lalu tersenyum datar. Aku Alivia Renata, salam kenal.