Tuesday, 29 December 2015

Kota Tuaku

(Lapangan Fatahillah, Kota Tua)
Kota Tua yang kotor, sesak, dan panas. Hari itu, kami bertemu dan bercakap-cakap.

"Aku penasaran. Berapa hari yang telah kau lalui?"

"Banyak nak. Tak dapatkah kau melihat tubuhku yang kini renta? Tak sekokoh dulu."

"Berarti, kau sudah bertemu banyak manusia bukan? Tentunya kau punya banyak teman. Mereka bisa membantumu jadi kokoh lagi!"

"Banyak nak. Sayangnya yang mau menjadi temanku sedikit sekali."

"Mengapa? Mungkin kau terlalu sedikit bicara, sehingga mereka bosan."

"Aku selalu ingin bicara. Aku juga ingin punya banyak teman dimasa senjaku. Tapi aku tak mampu. Mungkin kau benar, aku membosankan. Hanya ini yang aku punya. Gedung-gedung tua kotor. Kisahku juga itu-itu saja, apa lagi kalau bukan sejarah. Aku memang payah."

"Hei tunggu, tunggu. Aku tak bermaksud. Kau tidak payah. Maafkan aku mengatakan bahwa kau membosankan. Ini kali pertama kita berbicara dan aku sudah sok tahu menilai tentangmu.
Dengar, aku kini tengah berbicara denganmu, dan aku tidak bosan.
Kau memang tua, kami juga akan jadi tua. Lalu kenapa?
Kau kotor Karena kami. Seenaknya buang-buang sampah. Seenaknya bertingkah, membuatmu sesak. Kami yang payah."

"Terima kasih telah menghiburku."

"Tidak aku yang berterimakasih. Kau selalu ramah meski kadang ramahmu tak terbalas.
Dengarkan aku, aku mau menjadi temanmu
Kota Tua,
Jadilah temanku, teman anakku, teman cucuku.
Jadilah kota yang tua, yang tak lekang dimakan waktu.
Jadilah pendongeng hebat sebagai saksi sejarah.
Kota Tuaku, kau harus tetap hidup."

"Bahkan meski kau tidak memintanya, aku akan tetap hidup nak"
Dan ia tersenyum. Kota Tuaku, yang selalu tersenyum.



No comments:

Post a Comment